(Prof. Dr. Alwi Shihab)
Perspektif Islam dan Berinteraksi dengan Nonmuslim
Mengingatkan kembali bahwa Tuhan menciptakan umatNya menjadi berbeda-beda, baik sebagai individu maupun kelompok, merupakan kenyataan klasik normative yang tidak terbantahkan selamanya. Berinteraksi dan bekerja sama dengan semua kalangan dan golongan dalam era globalisasi merupakan kenormalan yang tidak terhindarkan bahkan mungkin menjadi rutinitas keseharian. Islam sebagai agama besar dan pembawa kedamaian telah membekali umatNya agar dapat bergaul dan berinteraksi dalam segala zaman dengan cara bermartabat. Begitu banyaknya tuntunan Al-Qur’an yang intinya menganjurkan mencari titik-titik temu bagi beberapa kelompok untuk mencapai kebaikan bersama.
Al-Qur’an menjelaskan:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ - ٨
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadpa orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kami dari negerimu. Seseungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah; [60]:8)
Berbuat baik dan berlaku adil adalah dasar pergaulan Muslim dengan nonMuslim, bukan berseteru, memaki, mencerca apalagi membunuh, selama mereka tidak memerangi agama kamu serta selama mereka tidak mengusir kamu dari negerimu. Dnegan kata lain, syarat memerangi nonMuslim adalah ketika mereka mengusir Muslim dari negerinya. Al-Qur’an baru memerintahkan membunuh lawan apabila mereka mulai membunuh, atau dengan kata lain sebagai pembelaan diri. Selanjutnya, Al-Qur’an memerintahkan untuk berhenti berperang apabila musuh telah menghentikan keagresiannya. Demikian Al-Qur’an surah Al-Baqarah 190-191.
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Baqarah; [2]:190)
وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقَاتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِۚ فَاِنْ قٰتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْۗ كَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ - ١٩١
Artinya: “Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah; [2]:191)
Sebagai contoh, rakyat Palestina dibenarkan memerangi Israel untuk mempertahankan diri, karena mereka (orang Palestina) diusir dari negeri mereka. Namun dalam situasi damai di mana nonMuslim berada di antara umat Islam, seperti halnya di Indonesia dan negara damai lainnya, maka perlakukan yang dituntut dari umat Islam adlaah perlakuan baik dan adil kepada nonMuslim sebagaimana tuntutan Al-Qur’an di atas.
Pertanyaan yang timbul tanpa henti di benak semua kalangan adalah mengapa sesama umat Islam sering saling bertikai terus menerus. Padahal Al-Qur’an sudah menjelaskan, bahwa kalau kita berdebat, harus dengan cara yang baik. kita bahkan dituntut untuk memakmurkan dan menyejahterakan dunia ini yang artinya menjauhi kegaduhan dan keributan. Pertanyaan yang tidak mudah ditemukan jawabannya karena dalam kenyataannya dewasa inni banyak negara Muslim yang porak poranda karena perseteruan antarumat, sebagaimana terjadi di Suriah, Libya, Mesir, Afghanistan, Irak. Padahal Allah menyampaikan kepada manusia, kepada kita semua, bahwa Dialah yang menciptakan kita dari bumi ini, dan menuntut kita untk memakmurkannya. Sesuai dengan Firman Allah:
هٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا
Artinya: “Tuhan menciptakan kalian dari tanah dan diperintahkan kalian untuk memakmurkan tanah itu atau dunia itu.” (Qs. Hud: 61)
Dalam membangun dan memakmurkan bumi, Al-Qur’an mengajarkan untuk mencari titik temu antara kita kaum Muslim dengan komunitas Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen) sesuai ayat sebagai berikut:
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا
Artinya: “Katakankah (wahai Muhammad) wahai sekalian Ahlul Kitab, kemarilah pada kalimat yang sama antara kami (umat Muslim) dan kaliam (Ahlul Kitab).” (Qs. Ali ‘Imran [3]:64)
Di ayat berikut Allah mengajarkan kepada manusia yang beragam ini untuk menciptakan hubungan harmonis di antara mereka.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ - ١٣
Artinya: “Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan. dan kami ciptakan dari manusia-manusia ini bangsa-bangsa. Grup-grup, etnik-etnik, agar saling mengenal satu dengan yang lainnya. sesungguhnya Orang yang paling mulia di antara mereka itu, yang paling bertakwa keapadaNya.” (Al-Hujarat:13)
Ta’aruf itu artinya berkenalan dengan positif. Itu tujuan Tuhan dalam menciptakan manusia.
Kiranya perlu diingat dan direnungkan bahwa taqwa tidak semata diukur dari intensitas ritual manusia belaka, seperti shalat, puasa dna zikr, tapi lebih dari itu dengan upaya menghadirkan Tuhan pada diri setiap individu. Agar kehadiran Tuhan senantiasa mengingatkan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melihat dan meneropong tiap langkah dan perilaku kita, sehingga menjadikan individu berperilaku sesuai dengan kehendakNyadan tuntunanNya. Pad asaat Tuhan seakan berada dalamn diri kita, maka pastikalah kita akan berusaha mengekang hawa nafsu dna menyingkirkan niat jahat yang ada pada benak dan pikiran kita.
Kehadiran Tuhan tersebut akan mengantar kita untuk melaksanakan tuntunanNya, antara lain memakmurkan dunia yang hanya akan dapat dicapai dengan menjaga hubungan baik dengan sesama serta berlomba untuk melakukan kebaikan demu terciptanya bumi yang damai dan terteram. Dalam konteks ini, manusia diuji siapa di antara mereka yang paling bertakwa untuk memperoleh kemuliaan Ilahi atau dengan kata lain, Tuhan akan menilai siapa yang paling konsisten terhadap ajaran yang ia anut.
Di dalam Surah Saba ayat 24-26 menjelaskan toleransi Islam yang sejati terhadap kelompok nonMuslim. Berikut ini tuntunan Allah kepada Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan masyarakat nonMuslim:
قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۙوَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Artinya: “Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang nonMuslim), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”.
قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Katakanlah kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) atas dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya pula apa yang kamu perbuat.”
Jika kita pelajari redaksi Al-Quran, ketika berbicara tentang kepercayaan orang Muslim, Allah menggunakan kata kesalahan, namun saat menerangkan perbuatan nonMuslim hanya dikatakan kamu lakukan, seakan mengakui ada kesalahan pada diri Muslim. Demikian toleransi Al-Qur’an ketika berinteraksi denngan nonMuslim. Sama sekali tidak mengklaim kebenaran. Al-Qur’an sama sekali tidak menyatakan Muslim yang benar dan nonMuslim yang salah. Tuntunan ini mengajarkan semangat toleransi agar hubungan antara kedua belah pihak dapat terpelihara jauh dari fanatisme dan sikap menang sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya yang juga memiliki semangat toleransi yang sama, yaitu kedua belah pihak berada pada tingkat yang sama dan sejajar, tanpa menunjukkan keunggulan atau superioritas suatu kelompok atas lainnya.
Katakanlah wahai Muhammad, kepada mereka itu; nanti kelak Tuhan akan mengumpulkan kita di akhirat. Dan Tuhan nanti akan membuka; siapa di antara kita yang benar.”
Dalam tuntunan ini, Nabi tidak dianjurkan untuk berargumentasi apalagi menghujat. Karena pada dasarnya semangat serta tuntunan Al-Quran adalah terciptanya perdamaian di bumi. Ayat di atas mengandung ajaran dan tuntutan moral agar kita saling berinteraksi dengan baik. Bersama-sama berlomba untuk kebajikan. Perbedaan ideologi dan agama merupakan urusan masing-masing kelompok tanpa menonjolkan superioritas. Seraya meyerahkan keputusan kepada Tuhan guna menentukan pihak mana yang benar dan mana yang keliru. Tuhan memiliki pertimbangan sendiri kelompok mana yang benar dan yang salah sekaligus menentukan siapa dari mereka yang masuk surge dan masuk neraka.
Tuhan memiliki hak mutlak dan prerogatif utama untuk menentukan kebenaran dan kekeliruan pihak-pihak yang berbeda. Segala sesuatu di tangan Tuhan. Kalau saja tuntunan Al-Quran di atas telah terinternalisasi menjadi prinsip hidup kita dalam berinteraksi dengan kelompok lain yang berbeda, maka rasanya kita akan hidup tenang di dunia ini betapapun perbedaan ini ada. Inilah inti toleransi Al-Quran yang diperkuat oleh ayat berikut.
Firman Allah di Surah Al-Kafirun:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ
Artinya: “Agama kamu adalah agamamu, dan agamakuk adalah agamaku”
Dengan maksud agar ktia tidak saling menghujat, saling bertikai apalagi mempersalahkan satu dengan lainnya. Pesan moral dari ayat tersebut mengisyaratkan bahwa mari kita mendalami ajaran kita masing-masing dan tidak mempersoalkan agama orang lain. Tuhan satu-satunya yang berhak untuk menilai, memberi ganjaran, dan mengampuni kesalahan. Berbuat baik kepada nonMuslim adalah anjuran agama Islam bahan Al-Quran melarang memusuhi nonMuslim apabila mereka tidak memusuhi Muslim. Al-Quran tidak saja memerintahkan Muslim berlaku adil kepada nonMuslim bahkan berbuat kebajikan kepada mereka. Berbuat baik kepada nonMuslim telah dipraktikkan pada masa Nabi.
Ayat-ayat di atas menggambarkan bagaimana seharusnya seorang Muslim berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan yang berbeda dengannya. Tidak dapat disangkal bahwa setiap penganut agama–termasuk Islam–harus meyakini sepenuhnya tentang kebenaran anutan/agamanya serta kesalahan anutan selainnya bila itu bertentangan dengan keyakinan masing-masing. Namun demikian, hal tersebut tidak harus ditonkolkan keluar apalagi dikumandangkan di tengah masyarakat majemuk. Ayat-ayat di atas tidak menyatakan kemutlakan kebenaran ajaran Islam dan kemutlakan kesalahan pandangan mitra bicara. Di tempat lain dalam kitab suci Al-Quran Allah melarang umat Islam untuk menyinggung rasa keagamaan nonMuslim. Allah berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Janganlah memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena (akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas pengetahuan. Demikianlah Kami perintah setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembalinya mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am [6]:108)
Al-Quran juga menekankan perlunya kerja sama dalam menghadapi para peleceh agama-agama. Karena,
الَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ
Artinya: “Sekiranya Allah tiada menolak sebagian manusia ddengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, dan gereja-gereja, serta sinagog-sinagog dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Qs. Al-Haj [22]: 40)
Terdapat beragam narasi otentik tentang hubungan harmonis Nabi dengan umat nonMuslim yang dapat kita jadikan sebagai rujukan dalam kehidupan harmonis bersama dalam keberagaman.
Nabi Muhammad Saw. memberi keteladanan kepada umat Islam bagaimana Beliau menjalin kerja sama dengan umat Kristen Najran saat Beliau menulis janji kepada mereka yang berisi, antara lain: Saya berjanji melindungi mereka dan membela mereka, gereja dan tempat ibadah mereka serta tempat-tempat pemukiman para rahib dan pendeta-pendeta mereka. Demikian juga tempat-tempat suci yang mereka kunjungi. Saya pun mengikat janji untuk memelihara agama dan cara hidup mereka di mana pun mereka berada sebagaimana halnya dengan pembelaan saya kepada diri dan keluarga dekat saya serta orang-orang Islam yang seagama dengan saya. Karena saya telah menyerahkan kepada mereka perjanjian yang dikukuhkan Allah bahwa mereka memiliki hak serupa dengan hak kaum muslimin, dan kewajiban serupa dengan kewajiban mereka. Kaum muslimin pun berkewajiban seperti kewajiban mereka berdasarkan kewajiban memberi perlindungan dan pembelaan kehormatan sehingga kaum muslimin berkewajiban melindungi mereka dari segala macam keburukan dan dengan demikian mereka menjadi sekutu dengan kaum muslimin menyangkut hak dan kewajiban.
Nabi Muhammad saw. bahkan menekan: “Keluarga wanita masyarakat Nasrani tidak boleh dipaksa mengawinkan anak perempuannya kepada pria kaum muslimin. Mereka tidak boleh disentuh kemudaratan kalau mereka menolak lamaran atau enggan mengawinkan. Perkawinan tidak boleh terjadi kecuali atas kerelaan hati. Apabila seorang wanita Nasrani menjadi istri seorang Muslim maka sang suami harus menerima baik keinginan istrinya untuk menetap dalam agamanya dan mengikuti pemimpin agamanya serta melaksanakan tuntunan kepercayaannya.
Selanjutnya Rasul saw. menegaskan dalam janji Beliau itu bahwa bagi para penganut agama Nasrani bila mereka memerlukan sesuatu untuk perbaikan temapt ibadah mereka, atau satu kepentingan mereka dan agama mereka bila mereka membutuhkan bantuan dari kaum muslimin maka hendaklah mereka di bantu dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebankan kepada mereka tetapi merupakan dukungan buat mereka demi kemaslahatan agama mereka serta pemenuhan janji Rasul (Muhammad saw.) kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya untuk mereka. Demikian butir-butir janji Nabi Muhammad saw., yang dinyatakan bahwa itu berlaku untuk umat Nasrani sepanjang masa di mana pun mereka berada.
Bahkan terhadpa kaum musyrik pun Allah berpesan agar memberi mereka yang tida memusuhi Islam peluang untuk memperoleh keamanan. Allah berfirman,
وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ ࣖ
Artinya: “Jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia supaya ia dapat mendengar Firman Allah. Kemudian antarlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tida mengetahui.” (Qs. At Taubah [9]: 6).
Adanya keanekaragaman pendapat menyangkut rincian ajaran Islam memberi kemudahan kepad aumat dalam melaksanakan tuntunan agama. ketika seseorang mengalami kesulitan untuk melaksanakan satu tuntunan maka dia memiliki peluang untuk menghindari kesulitan itu dengan memilih pendapat lain. Hal ini selaras dengan bunyi satu ungkapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. atau tokoh selain Beliau: “Perbedaan pendapat pada umatKu adalah rahmat”. Rahmat di sini tentu saja bila perbedaan tersebut dipahami dan disikapi dengan benar. Nabi bahkan berpesan kepada para ulama untuk memberi jalan yang mudah bagi umat Islam dalam menunaikan kewajiban keagamaannya sesuai sabdanya:
Permudahlah (urusan) mereka dan jangan persulit, buatlah mereka bahagia, dan jangan buat mereka menjauh.”
EmoticonEmoticon